Kamis, 28 Maret 2013

(Memantik) Nasionalisme dalam Sastra



(Memantik) Nasionalisme dalam Sastra


Perang antar suku, keinginan wilayah untuk memerdekakan diri, dan yang paling halus yakni dikuasainya sumber daya alam Indonesia oleh korporasi asing, menjadi sekian contoh bagaimana nasionalisme kita benar-benar patut dipertanyakan. Apa yang terjadi dengan sikap kita terhadap negara ini? Pertanyaan itulah yang mungkin patut dipikirkan oleh kita sebagai warga negara Indonesia.

Nasionalisme diyakini sebagai syarat mutlak untuk membentuk sebuah negara yang mandiri. Itulah mengapa para founding father kita selalu menekankan akan nasionalisme dan menolak segala bentuk imperialisme, kolonialise, maupun yang ditakutkan oleh Bung Karno yaitu neo-kolonialisme, yang disadari atau tidak saat ini tengah terjadi di pusaran dan pergolakan politik, ekonomi, social dan keamanan negeri ini. Sebagai negara yang tengah berdaulat, Indonesia sangat mengharapkan warga negaranya memiliki sikap dan laku nasionalisme. Sebab jika tidak, negara ini, baik dalam system politik dan ekonomi serta sektor lainnya akan mudah dipengaruhi atau disetir oleh negara lain, yang menginginkan sumber daya alam Indonesia yang terkenal kaya raya. Faham kebangsaan ini menjadi tolak ukur kemajuan dan kemandirian bangsa Indonesia ke depannya. Perlu diketahui, problem ini bukan hanya dihadapi oleh bangsa Indonesia, tapi juga seluruh bangsa, dan mereka meyakini bahwa nasionalisme itu penting.

Namun apa yang kita lihat dan kita dengar selama beberapa tahun terakhir, mungkin membuat kita kembali harus merenungi pertanyaan di atas. Kecintaan terhadap negara Indonesia mengalami penyusutan luar biasa. Banyak fakta yang membuktikan hal itu. Sebuah sikap dan laku kita terhadap bangsa ini yang menyebabkan masalah besar dan menimbulkan efek luar biasa pula bagi warga negara ini. Keinginan sebuah wilayah keluar dari Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI), hingga melakukan berbagai pemberontakkan dan dikuasainya sebagian besar sumber daya alam kita oleh korporasi asing menjadi contoh konkret. Belum lagi jika kita telisik dari sudut pandang ekonomi, warga Indonesia kebih suka mengkonsumsi produk luar negeri dari pada lokal, entah dengan alasan kualitas ataupun hanya masalah pencitraan. Memakai produk luar negeri dirasa lebih keren dari pada produk lokal. Ini menjadi bukti bahwa kendurnya nasionalisme bukan hanya pada tataran pemerintahan dengan produk kebijakkannya, tapi juga telah sampai pada kehidupan pribadi warga negara.

Sejak lama pemerintah sebagai lembaga tinggi negara menyadari akan hal ini. Bukan hanya saat ini, tapi juga dari tiap periode pemerintahan. Upacara bendera yang hampir tiap minggu dilakukan, perayaan hari kemerdekaan dan hari-hari besar kenegaraan lainnya, hingga dimasukkan beberapa materi berwawasan nasionalisme ke dalam mata pelajaran, serta berbagai iklan di media massa untuk memakai produk Indonesia, menjadi contoh bagaimana nasionalisme tengah diusahakan untuk dimasukkan dalam benak warga negara. Namun yang patut disesalkan adalah bahwa kerap kali hal tersebut hanya terhenti pada simbolisme belaka. Tidak benar-benar bisa membangkitkan kecintaan terhadap Indonesia. Harapan hal-hal itu dilakukan untuk terapi agar nasionalisme tetap bertahan bahkan semakin bertambah, hanya terhenti pada selebrasi. Sebuah rutinitas yang dilakukan tanpa meninggalkan bekas, atau hanya dianggap laku tanpa makna dan nilai.

Cara lain untuk membangkitkan nasionalisme perlu dicetuskan. Solusi alternative dan segar perlu memperoleh peluang karena apa yang dilakukan selama ini memang tidak terlalu berhasil. Salah satunya adalah dengan metode kesastraan. Di dini karya-karya sastra digunakan sebagai pembangkit rasa nasionalisme. Mungkin stereotip yang banyak berkembang adalah bahwa karya sastra hanya fiktif belaka, sifatnya hanya imajinatif. Sehingga tidak layak untuk menjadi bahan ajar. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah. Selama ini sastra berjalan dalam dunianya sendiri karena dianggap beda, tidak ilmiah sehingga tidak layak masuk dalam ranah ilmu pengetahuan. Sastra, meminjam istilah Putu Wijaya, haya menjadi “penumpang gelap” dalam mata peajaran Bahasa Indonesia.

Namun tentu kita juga harus melihat dari segi isi dan pesan yang disampaikan. Metode kasastraan ini mengandaikan pembentukkan mental-mental kebangsaan melalui peniruan terhadap sifat-sifat tokoh-tokoh, maupun melalui penyerapan  makna dari karya sastra tersebut. Kita tidak bisa menutup mata bahwa karya sastra, baik novel maupun puisi, bisa mempengaruhi pikiran dan sikap pembaca (warga negara). Novel tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata misalnya, begitu mengispirasi dan memotivasi banyak orang, pendidik bahkan juga peserta didik. Penyerapan karakter para tokoh di dalamnya, kondisi sosial dan kebudayaan hingga makna yang tersirat di dalamnya, menjadi bahan pelajaran yang berharga.

Penanaman nasionalisme harus dilakukan sejak dini, sehingga sekolah yang merupakan lembaga pendidikan yang membentuk karakter peserta didik sejak dini harus menanamkan sikap ini. Metode kesastraan diharapkan diterapkan dalam proses pembelajaran. Gaya bahasa yang mendalam yang ada dalam karya sastra yang begitu mudah diresapi, diharapkan mampu member penyerapan lebih terhadap makna yang ada dalam karya sastra tersebut. Karya sastra yang disampaikan tentunya yang berbau kepahlawanan dan kebangsaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar